DOB adalah Konpsirasi Elit politik Di Balik Bisnis.

DOB di Papua dan Wacana Penerbitan Perppu Pemilu 2024.
konsep Geopolitik yang di bangun sebagai provinsi tandingan dari kaca mata Politik . namun banyak yang tak paham tentang Konstalasi politik internasional menyangkut investasi  dan pemerintah elit papua juga tak paham tentang politik Deliberatif,asal-asalan menjadi pemimpin 
Yang buta akan atas Fungsinya sebagai 
Pemimpin yang lahir dari rakyat. 

Apabila akan disertakan dalam kontestasi politik Pemilu 2024,tiga provinsi baru di Papua harus masuk dalam daerah pemilihan.Bisa menerapkan pola seperti di Provinsi Kaltara pada Pemilu 2024 atau melalui perppu.

Pada Kamis, 30 Juni 2022, Rapat Paripurna DPR mengesahkan tiga Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan Provinsi Baru. Dengan disahkannya RUU tersebut, Indonesia akan mempunyai tiga tambahan provinsi baru hasil pemekaran Provinsi Papua, yaitu Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan, dan Provinsi Papua Selatan.
RUU tersebut memang masih dalam proses pengundangan oleh pemerintah. Namun, pembahasan tentang dampak lanjutan dari terbentuknya tiga provinsi baru tersebut terus menjadi pembahasan, khususnya terkait dengan pelaksanaan Pemilu 2024.



Motif Politik Rencana Pemekaran Daerah Otonomi Baru di Tanah Papua.
Ekspolrasi Tambang Juga menjadi Salah satu Dampak utama,yang Menyebabkan 
Perselingkuhan antara Pemerintah daerah Dan Pusat untuk Melahirkan DOB
Namun tidak kah kedua intasi Publik
Tersebut tak sadar, Mereka berdua keliru
Dalam menciptakan solusi siluman  yang 
Menuju pada Perjanjian bisnis yang di 
Tutupi dengan konsep kesejahteraan. 

INTISARI Penelitian ini mengkaji tentang motif politik rencana pemekaran daerah otonomi baru di tanah Papua. Sebab, pemekaran daerah otonomi baru tidak selamanya murni untuk kesejahteraan masyarakat, melainkan sangat lekat dengan kepentingan politik yakni kekuasaan dan jabatan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitaitf.Dimana menurut John W. Creswell, (2013) bahwa penelitian kualitatif merupakan metode yang digunakan untuk mengeksplorasi ataupun memahami individu atau kelompok yang dianggap berasal dari suatu masalah sosial. Lebih lanjut, untuk mengkaji motif politik dalam penelitian ini menggunakan strategi studi kasus. Data yang digunakan berupa data sekunder diperoleh melalui media bereputasi dan dokumen berupa jurnal. Untuk menganalisis data penelitian digunakan Nvivo plus 12. Hasil penelitian menunjukkan bahwa motif politik rencana pemekaran daerah otonomi baru di tanah Papua sangat sarat dengan motif intensif materil yakni kepentingan elit politik baik pusat maupun daerah guna mendapatkan imbalan, kedudukan, dan kekuasaan. Pada motif insentif idealisme terdapat narasi bahwa pemekaran daerah guna untuk kepentingan publik yakni memberikan pelayanan, pembangunan infrastruktur, peningkatan sumber daya manusia, dan pengentasan kemiskinan. Adapun sejumlah aktor yang terlibat dalam rencana pemekaran daerah otonomi baru yakni elit lokal, elit pusat, Polri, TNI, tokoh adat, dan tokoh agama sedangkan masyarakat sipil secara luas tidak dilibatkan sama sekali.

Pendahuluan
Dalam pelaksanaan sistem pemerintahan Indonesia mengalami beberapa kali perubahan. Dari orde lama, orde baru, hingga reformasi dengan gaya pemerintah yang berbeda-beda. Di era orde lama dan orde baru dalam pengambilan kebijakan bersifat Top Down, di mana pemerintah pusat memiliki peran sentral dalam pelaksanaan pemerintahan. Namun pada era reformasi 1998, mengarah pada pemerintahan yang lebih demokrasi yakni dalam pengambilan kebijakan bersifat bottom up. Dengan demikian,
 pemerintah dan elite lokal dapat berperan untuk mempengaruhi kebijakan. Sehingga, dinamika politik lokal memusatkan banyak perhatian dari berbagai pihak terutama berkaitan dengan persoalan pemilihan kepala daerah dan pemekaran daerah (Agustino, 2020). Dimulai semenjak berlakunya Undang-Undang No 22 Tahun 1999 kemudian mengalami perubahan menjadi Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk mengatur urusannya sendiri atau dikenal dengan otonomi daerah. Meskipun demikian, pelaksanaan otonomi daerah tidak lepas dari hubungan antara pusat dan daerah. Di mana kewenangan yang dimiliki daerah merupakan pemberian dari pemerintah pusat dan presiden merupakan pemegang kekuasaan tertinggi sebagai kepala pemerintahan. Adapun tujuan dari otonomi daerah diantaranya: sebagai tujuan politik di mana otonomi daerah dilakukan untuk mendistribusikan kekuasaan ke tingkat daerah, membangun masyarakat daerah, dan untuk menjaga kestabilan pemerintahan nasional. Sebagai tujuan ekonomi yakni untuk memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat (R. Siti Zuhro, 2015). Dengan adanya konsep desentralisasi melalui otonomi daerah, memungkinkan terjadinya pemekaran daerah otonomi baru (DOB). Pentingnya DOB dilakukan karena alasan mendekatkan pelayanan publik, mengatasi ketimpangan pembangunan, serta mewujudkan politik perwakilan daerah. Juga untuk menyerap anggaran pusat yang bersumber dari APPBN dalam hal ini Alokasi Dana Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) (Qodir & Sulaksono, 2012). Pemekaran daerah diyakini mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat melalui pembangunan serta pengembangan wilayah. Namun, pemekaran DOB tidak selalu berjalan normal. Pasalnya, pemekaran DOB diiringi dengan konflik baru antardaerah. Jika wilayahnya semakin meluas, kemungkinan terjadinya konflik spasial akibat masalah kependudukan dan batas wilayah semakin besar. Konflik kewilayahan akibat dari DOB memberikan dampak secara ekonomi, politik, dan sosial budaya (Muksin & Robo, 2021). Sehingga, agenda pemekaran harus dibarengi dengan pertimbangan konflik yang akan terjadi karena tidak menuntut kemungkinan, pemekaran daerah akan menjadi sumber konflik terutama konflik keruangan. Jika pemekaran daerah dilakukan, maka jumlah garis batas laut dan darat antara daerah semakin bertambah. Hal itulah yang nantinya menjadi pemicu konflik keruangan antardaerah (Harmantyo, 2010) Di sisi lain, kebijakan pemekaran daerah tidak berjalan maksimal karena sangat didominasi oleh kepentingan politik (Muqoyyidin, 2013). Dengan adanya distribusi kekuasaan di ranah lokal membuka ruang persaingan baru bagi aktor politik untuk memperoleh kekuasaan. Politik di aras lokal pascareformasi, dengan adanya desentralisasi mendorong lahirnya praktik dinasti politik. Di mana elite politik yang memiliki modal sosial, ekonomi, politik, dan sosial budaya cenderung mengendalikan kekuasaan di tingkat lokal (Muksin, Purwaningsih, & Nurmandi, 2019). Dalam konteks pusat dan daerah, pemekaran adalah upaya para elite politik lokal untuk merebut kekuasaan yang ada pada pemerintahan pusat, sehingga kesan dari pemekaran hanyalah arena pertarungan dan pembagian kekuasaan (Riwanto Tirtosudarmo, 2007). Berdasarkan narasi di atas, secara sederhana dapat dikatakan bahwa pemekaran yang terjadi tidak selamnya didasarkan pada kepentingan masyarakat melainkan adanya kepentingan kuasa dari elite politik. Karena alasan inilah, sehingga rencana pemekaran selalu menemui pro dan kontra. Hal itu sebagaimana terjadi pada
rencana pemekaran DOB di tanah Papua yang memicu perdebatan publik. Sebagian tokoh Papua merasa khawatir dengan adanya pemekaran DOB akan melahirkan konflik terutama antara masyarakat dengan pihak militer. Pemekaran daerah juga dinilai tidak dapat dinikmati oleh masyarakat asli Papua (BBC News Indonesia, 2019). Sebagai bukti nyata, pemekaran Provinsi yaitu Papua dan Papua Barat yang sedang berjalan selama ini belum mampu memberikan dampak yang maksimal bagi kesejahteraan masyarakat. Pemekaran Papua, misalnya yang sudah berjalan sejak 1969 kurang lebih 52 tahun, namun belum memberikan dampak kesejahteraan bagi masyarakat Papua. Hal itu secara sederhana dapat dilihat dari indikator pembangunan manusia yang belum memadai serta angka kemiskinan yang semakin meningkat. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tahun 2020 atar provinsi belum mengalami perubahan yang besar. Provinsi Papua masih berada pada IPM terendah dengan angka 60,44. Begitu juga dengan angka kemiskinan, Papua masih berada dalam daftar kategori angka kemiskinan terbesar. Sebagaimana dalam data BPS, penduduk miskin berdasarkan pulau, september 2020, Maluku dan Papua memiliki penduduk miskin terbesar yang berada pada angka 20,65 persen. Kondisi ini sering kali dimanfaatkan oleh pemerintah pusat dan lokal, TNI/Porli, kelompok bisnis, dan elite politik. Sehingga, menjadi hal wajar apabila ada penolakan dari masyarakat Papua terhadap rencana pemekaran DOB di Papua (Brata, 2016). Untuk itu, rencana pemekaran DOB di tanah Papua tidak bisa dilihat sebagai suatu aspirasi masyarakat, namun sangat lekat dengan kepentingan politik. Elite politik baik pusat dan lokal terus mendorong pemekaran di tanah Papua dengan menjanjikan kesejahteraan. Yaitu dengan melihat luasnya wilayah Papua serta untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Namun, pada kenyataannya pemekaran hanya membawa angin segar berupa keuntungan sosial dan ekonomi para elite, kemudian kepentingan masyarakat menjadi terabaikan. Di sisi yang lain, memperlebar konflik antara sesama penduduk lokal dalam memperebutkan sisa-sisa kekuasaan dari para elite. Meminjam bahasa I Ngurah Suryawan, (2020) pemekaran adalah siasat elite mencuri kuasa. Sebagaimana pada penelitian terdahulu di atas, pemekaran daearah melahirkan dinasti politik, untuk pertarungan politik dan pembagian kekuasaan, dan melahirkan konflik spasial di antara daerah. Namus, secara ideala pemekaran daerah untuk meningkatkatn ksesejahteraan masyarakat melalui pembangunan serta pengembangan wilayah. Olehnya itu, penelitian ini tidak melihat dampak dari pemekaran, namun mengkaji tentang motif atapun alasan-alasan yang melatara belakangi pemekaran daerah otonomi baru. Hal itulah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian terhadap rencana pemekaran DOB di tanah Papua yaitu berupaya untuk mengkaji motif politik rencana pemekaran DOB di tanah Papua. Dengan rumusan masalah: bagaimana motif politik dan siapa aktor yang paling dominan dalam rencana pemekaran DOB di tanah Papua?

Dinamika Politik Rencana Pemekaran DOB Dinamika Politik di tanah Papua berjalan sangat dinamis, terutama sekali dengan adanya pemberian otonomi khusus. Hal itu membuka ruang kontestasi bagi para elite lokal untuk memperebutkan kekuasaan dan jabatan politik. Di sisi lain, membuka ruang investasi bagi pengusaha untuk meraut keuntungan sebesar-besarnya. Dalam kontestasi politik dan pemekaran daerah, elite lokal menggunakan politik identitas dan pendekatan budaya guna mendapatkan dukungan publik. Namun, pada banyak kasus elite politik lokal Papua memakai politik identitas dan budaya tetapi tidak untuk kepentingan publik melainkan untuk kepentingan secara kelompok dan individu. Pada akhirnya, otonomi khusus, kontestasi Pilkada, dan pemekaran daerah hanyalah memenuhi kepentingan elite Papua untuk menguasai sumber daya ekonomi – politik yang dibangun atas dasar jejaring suku dan marga (Suryawan, 2011). Dinamika politik identitas dan budaya di tanah Papua masih berlangsung hingga hari ini. Kontestasi Pilkada dan pemekaran daerah sangat sarat dengan kepentingan politik, sehingga memicu konflik antara elite dengan elite, serta elite dengan masyarakat Papua. Hal itu sebagaimana terlihat pada rencana pemekaran DOB di tanah Papua. Kunjungan Presiden Jokowi ke Papua pada 2019 lalu memicu lahirnya rencana pemekaran DOB di tanah Papua yakni pembentukan provinsi Papua Selatan dan Papua Pegunungan. Selain itu, rencana DOB juga diperkuat dengan kehadiran sejumlah tokoh yang mengklaim sebagai representasi masyarakat Papua mendatangi Presiden untuk menyampaikan aspirasi perlunya pemekaran terhadap Provinsi Papua dan Papua Barat (Kompas.com, 2019). Rencana pemekaran dimunculkan ditengah-tengah konflik Papua yang sedang berkecamuk, sehingga dinilai tidak aspiratif di mana rencana pemekaran tidak melibatkan masyarakat Papua melainkan hanya kelompok elite tertentu (Kompas.com, 2019). Perlunya pemekaran sejatinya untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, sehingga dalam arti yang sebenarnya pemekaran harus memiliki legitimasi yang kuat dari masyarakat. Pemekaran haruslah menjadi aspirasi bersama yang jauh dari kepentingan kelompok, suku, dan elite politik. Adanya pro dan kontra menunjukkan adanya konflik-konflik di dalam masyarakat yang belum terselesaikan. Untuk itu, pemekaran tidak bisa dilihat sebagai suatu distribusi kekuasaan tetapi juga kesejahteraan kepada masyarakat. Yakni pemekaran harus melalui pendekatan otonomi khusus dengan harapan pemekaran dapat menyentuh masyarakat Papua secara keseluruhan (Republika.co.id). Rencana pemekaran daerah Papua itu memicu perdebatan publik. Sebagian tokoh Papua merasa khawatir dengan adanya pemekaran DOB akan melahirkan konflik terutama antara masyarakat dengan pihak militer. Pemekaran daerah juga dinilai tidak dapat dinikmati oleh masyarakat asli Papua (BBC News Indonesia, 2019). Kekhawatiran sejumlah tokoh Papua sangat rasional, sebab Sumber Daya Manusia di Provinsi Papua belum memadai, sehingga pemekaran DOB bisa saja tidak di nikmati oleh masyarakat Papua. Di mana kondisi masyarakat yang tidak berdaya sering kali dimanfaatkan oleh pemerintah pusat dan lokal, TNI/Polri, kelompok bisnis, dan elite politik dengan tujuan merealisasikan kepentingan politik. Sehingga, menjadi hal wajar apabila ada penolakan dari masyarakat Papua terhadap rencana pemekaran DOB di Papua (Brata, 2016). Untuk itu, rencana pemekaran DOB di tanah Papua tidak bisa dilihat sebagai suatu aspirasi masyarakat, namun sangat lekat dengan kepentingan politik. Elite politik baik pusat dan lokal terus mendorong pemekaran di tanah Papua dengan menjanjikan kesejahteraan. Yaitu dengan melihat luasnya wilayah Papua serta untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Namun, pada kenyataannya pemekaran hanya
membawa angin segar berupa keuntungan sosial dan ekonomi para elite, kemudian kepentingan masyarakat menjadi terabaikan. Di sisi yang lain, memperlebar konflik antara sesama penduduk lokal dalam memperebutkan sisa-sisa kekuasaan dari para elite. Hal itu sangat bertentangan dengan semangat otonomi daerah yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat di tingkat lokal. Sangat tidak mungkin kemiskinan dan pengangguran dapat dihilangkan jika sumber daya yang terbatas hanya dikelola dari sekelompok elite dan untuk kepentingan elite.
Motif Politik Rencana Pemekaran DOB Dalam sejarah desentralisasi yang melahirkan otonomi diwarnai tarik ulur antara kepentingan pusat dan daerah. Di mana pemerintah pusat kehilangan kendali atas daerah, sehingga desentralisasi sering kali menjadi sumber masalah. Bahkan desentralisasi juga merupakan konsep yang belum final karena latar belakang kelahirannya dipenuhi dengan gejolak sosial yang ada dalam masyarakat. Misalnya, kelahiran desentralisasi disebabkan karena kemarahan masyarakat terhadap rezim Soeharto lewat reformasi 1998 kemudian konsep desentralisasi dituangkan dalam UU Nomor 22 tahun1999 (Pratikno, 2003) Pelaksanaan otonomi daerah masih menjadi polemik dalam melaksanakan pemerintahan. Hal itu karena respons daerah atas kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sangat beragam. Pada perkembangannya, misalnya Aceh dan Papua yang memiliki hasrat yang kuat dalam melaksanakan referendum untuk menentukan nasib sendiri ataupun membentuk negara sendiri. Kondisi tersebut menjadikan pemberian otonomi daerah seluas-luasnya mejadi jalan tengah untuk menyelesaikan polemik kedaerahan. Di sisi yang lain, dalam mempertahankan integritas bangsa pendekatan keadilan dan kesejahteraan masyarakat mestinya menjadi prioritas utama juga 
memberikan rasa aman dengan tidak menyebarkan ketakutan di daerah-daerah dengan menodong senjata ke kepala warga daerah. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah pusat untuk merumuskan suatu format politik yang dapat memfasilitasi hasrat dan harapan daerah-daerah dalam bingkai negara kesatuan (Cornelys Lay, 2003). Dengan adanya konsep desentralisasi melalui otonomi daerah, memungkinkan terjadinya pemekaran daerah otonomi baru (DOB). Pentingnya DOB dilakukan karena alasan mendekatkan pelayanan publik, mengatasi ketimpangan pembangunan, serta mewujudkan politik perwakilan daerah. Juga untuk menyerap anggaran pusat yang bersumber dari APPBN dalam hal ini Alokasi Dana Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) (Qodir & Sulaksono, 2012). Pemekaran daerah diyakini mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat melalui pembangunan serta pengembangan wilayah. Tetapi pada kenyataannya pemekaran daerah belum memberikan dampak yang baik bagi masyarakat. Kebijakan pemekaran daerah tidak berjalan maksimal karena sangat didominasi oleh kepentingan politik (Muqoyyidin, 2013). Dengan adanya distribusi kekuasaan di ranah lokal membuka ruang persaingan baru bagi aktor politik untuk memperoleh kekuasaan. Dalam konteks pusat dan daerah, pemekaran adalah upaya para elite politik lokal untuk merebut kekuasaan yang ada pada pemerintahan pusat, sehingga kesan dari pemekaran hanyalah arena pertarungan dan pembagian kekuasaan (Riwanto Tirtosudarmo, 2007).
Menurut Bank Dunia dalam (Nunik Retno Herawati, 2011) bahwa pemekaran daerah didorong oleh empat faktor utama yaitu: 1) Motif efektifitas administrasi pemerintah dengan mempertimbangkan luasnya wilayah, kepadatan penduduk, dan minimnya pembangunan. 2) Homogenitas di mana pemekaran terjadi karena dorongan agama, etnis, bahasa, urban rural, dan tingkat pendapatan. 3) Motif Fiskal yaitu dengan adanya pemekaran guna menyerap anggaran dari pemerintah pusat melalui DAU dan DAK. 4) Motif pemburu rente di mana pemekaran terjadi karena adanya hasrat untuk berkuasa dan memegang jabatan. Selanjutnya Tri Ratnawati (2009: 15) dalam (Nunik Retno Herawati, 2011) menjelaskan bahwa ada motif tersembunyi dalam pemekaran daerah di Indonesia diantaranya: 1) pemekaran terjadi karena adanya kepentingan partai politik. 2) Pemekaran daerah berorientasi pada bisnis. 3) Pemekaran daerah (meredam separatisme etnis dan agama) guna melindungi kepentingan elite pusat maupun lokal. Saputra & Al-Hamdi dalam (Beck & J.Sorauf, 1992: 115-126) motif politik erat kaitannya dengan upaya seseorang untuk mewujudkan segala kepentingannya demi mencapai tujuan tertentu. Lebih lanjut, motif politik dapat dikaji melalui tiga indikator yakni motif insentif materil, motif intensif solidaritas, dan motif insentif idealisme. Motif insentif materil dapat dilihat melalui suatu tindakan yang dilakukan guna mendapatkan imbalan, kedudukan, dan kekuasaan. Motif insentif solidaritas berkaitan dengan upaya untuk memperoleh pergaulan dengan kelompok yang baru yang berkaitan dengan hubungan emosional maupun moral. Sedangkan motif insentif idealisme merupakan upaya untuk mewujudkan ataupun mengutamakan kepentingan publik daripada kepentingan individu. Dengan demikian, untuk menguraikan motif politik rencana pemekaran DOB di tanah Papua dapat dianalisis melalui motif insentif materil, motif intensif solidaritas, dan motif insentif idealisme sebagaimana pada gambar berikut ini:
Dari hasil analisis di atas, terlihat jelas bahwa motif politik rencana pemekaran DOB di tanah Papua sangat dipengaruhi oleh motif insentif materil dan motif insentif idealisme. Pada motif insentif materil, rencana pemekaran DOB sangat dipengaruhi oleh kepentingan elite pusat dengan presentasi 39.00%. Kepentingan pusat tergambarkan melalui respons sejumlah elite nasional yang mendukung pemekaran Papua tanpa mempersoalkan moratorium. Di mana pembatasan pemekaran DOB melalui moratorium terkesan tidak berlaku bagi Papua. Hal itu sebagaimana disampaikan oleh JIIP:
 Mendagri bahwa pemekaran Papua dapat dilakukan tanpa membatalkan moratorium, sebab sudah diatur dalam kebijakan strategis nasional (Kompas.com, 2019). Untuk itu, apabila pemekaran Papua dilakukan akan memberikan dampak kecemburuan kepada daerah lain, sebab hingga saat ini rencana pemekaran DOB yang diterima oleh kementerian terdapat 314 usulan. Dengan demikian, Pemekaran Papua di tengah berlakunya moratorium akan memicu masalah baru dalam politik lokal (Republika.co.id, 2019). Di sisi lain, rencana pemekaran DOB dipengaruhi oleh kepentingan elite lokal dengan presentasi 30.00%, mendapatkan kedudukan dan kekuasaan 15.00%, serta mendapatkan imbalan 15.00%. Di mana kehadiran sejumlah tokoh yang mendatangi Presiden untuk menyampaikan aspirasi perlunya pemekaran terhadap Provinsi Papua dan Papua Barat tidak representasi dari masyarakat Papua, sebab hanya melibatkan kelompok elite lokal tertentu. Inilah yang menjadi pemicu pro dan kontra dikalangan masyarakat atas rencana pemekaran DOB di tanah Papua. Selanjutnya, dilihat dari motif insentif idealisme rencana pemekaran DOB dilihat dari indikator kepentingan publik memiliki presentasi 30.00%, pelayanan publik 21.00%, peningkatan SDM 17.00%, pengentasan kemiskinan 13.00%, dan pembangunan 13.00%. Dengan demikian, motif politik rencana pembangunan sangan didominasi oleh motif insentif materil yakni kepentingan elite pusat dan elite lokal. Dari aspek motif insentif solidaritas tidak memiliki pengaruh dalam rencana pemekaran DOB di tanah Papua. Dengan demikian, pemekaran daerah untuk memberikan pelayan publik yang lebih baik, meningkatkan partisipasi, dan membangun harmonis antara masyarakat dengan birokrasi hanyalah suatu janji manis yang sering diberikan kepada masyarakat. Pemekaran yang merupakan bagian dari demokrasi lokal telah dikendalikan oleh kepentingan penguasa lokal ataupun pemekaran daerah melahirkan local strongmen yang menguasai daerah (Agustino, 2020)
Keterlibatan Aktor Pemekaran daerah sudah dimulai sejak Orde Lama di mana pemekaran yang dilakukan lebih banyak di luar Pulau Jawa yakni pemekaran Pulau Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan karena dianggap memiliki keadaan geografi yang luas. Pun demikian pada masa Orde Baru juga terjadi proses pemekaran tetapi dengan jumlah yang terbatas. Pemekaran yang terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru bersifat top down dalam artian bahwa yang menjadi aktor pemekaran menjadi hak mutlak pemerintah pusat. Sementara itu, pada masa reformasi pemekaran daerah marak terjadi karena kebijakan pemekaran daerah bersifat bottom up yang dipengaruhi oleh proses politik. Sehingga, pemerintah pusat bukanlah satu-satunya aktor politik pemekaran, tetapi berbagai pihak dapat berperan ataupun menjadi aktor dalam pemekaran daerah (Nunik Retno Herawati, 2011). Sehingga, pemekaran DOB erat kaitannya dengan aktor politik dalam hal ini Pemerintah Daerah, Akademisi, Pengusaha, dan Masyarakat yang dapa melakukan jejaring, dengan kepentingannya masing-masing guna mempengaruhi kebijakan percepatan pemekaran DOB sebagaimana yang terjadi pada pembentukan Garut Selatan (Diki Suherman et al., 2021). Untuk itu, dalam rencana pemekaran DOB di Papua juga melibatkan banyak aktor sebagaimana terlihat pada gambar analisis berikut :

Berdasarkan hasil analisis di atas, rencana pemekaran DOB ditahan Papua melibatkan beberapa aktor ataupun elite politik diantaranya: Elit pusat, elite lokal, tokoh adat, tokoh agama, TNI, dan Polri. Secara presentasi, keterlibatan elite lokal sangat dominan dengan presentasi mencapai 29% sedangkan elite pusat mencapai 25% dengan kategori presentasi yang dominan setelah elite lokal. Aktor elite lokal dalam hal ini adalah bupati, gubernur, anggota partai, dan DPRD. Pada elite pusat adalah presiden, anggota DPRRI, MPR, dan Kementerian. Terlepas dari elite pusat dan lokal, rencana DOB juga melibatkan Polri dengan presentasi 20% lebih dominan dibandingkan dengan TNI yang berada pada angka 8%. Keterlibatan tokoh agama jauh lebih kecil dengan presentasi 4 % dibandingkan dengan toko adat yang memiliki presentasi 12 % sedangkan masyarakat sipil berada pada partisipasi 0.00%. Lebih jelasnya dapat dilihat pada analisis Word Frequency Query berikut ini:
Dengan demikian, rencana pemekaran DOB sangat didominasi oleh elite pusat dan daerah. Sehingga, rencana pemekaran sangat sarat dengan kepentingan elite pusat juga Polri dan TNI. Sebab, rencana DOB tidak terlegitimasi oleh keterlibatan masyarakat sipil ataupun rencana DOB tidak didasari pada kepentingan masyarakat secara luas. Di mana kelompok elite politik baik pusat dan lokal terus mendorong pemekaran di tanah Papua dengan menjanjikan kesejahteraan, luasnya wilayah, serta untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Tidak semua agenda pemekaran DOB adalah kebijakan yang tepat, sebab pemekaran daerah yang terjadi belum mencapai pada sasaran subtansi yakni kesejahteraan masyarakat. Olehnya itu, alasan pemekaran daerah harus berdasarkan pada kesejahteraan masyarakat dari pada kepentingan elite secara kelompok maupun individu (Evana & Tarmizi, 2019). Pemekaran hanya membawa angin segar berupa keuntungan sosial dan ekonomi para elite, kemudian kepentingan masyarakat menjadi terabaikan. DOB juga memperlebar konflik antara sesama penduduk lokal dalam memperebutkan sisa-sisa dari kekuasaan dari para elite, pemekaran hayalah siasat elite untuk mencuri kuasa.

Rencana pemekaran DOB di tanah Papua sangat sarat dengan motif intensif materil yaitu kepentingan elite politik baik pusat maupun daerah guna mendapatkan imbalan, kedudukan, dan kekuasaan. Pada motif insentif idealisme terdapat narasi bahwa pemekaran daerah guna untuk kepentingan publik yakni memberikan pelayanan, pembangunan infrastruktur, untuk peningkatan SDM, dan pengentasan kemiskinan. Namun, pada kenyataannya beberapa pemekaran DOB di tanah Papua belum memberikan dampak kepada masyarakat Papua. Di mana kemiskinan dan angka SDM masih menjadi masalah di tanah Papua. Dengan demikian pemekaran DOB dalam konteks Papua bukanlah kebijakan yang tepat, sebab pemekaran daerah yang terjadi belum mencapai pada sasaran subtansi yakni kesejahteraan masyarakat. Maka, pemekaran daerah seharusnya ditik beratkan pada kesejahteraan masyarakat dari pada kepentingan elite secara kelompok maupun individu. Adapun sejumlah aktor yang terlibat dalam rencana pemekaran DOB yakni elite lokal, elite pusat, Polri, TNI, tokoh adat, dan tokoh agama sedangkan masyarakat sipil secara luas tidak dilibatkan sama sekali. Hal itu juga menegaskan bahaw orientasi rencana DOB di tanah Papua bukan untuk kepentingan masyarakat melainkan didominasi oleh kepentingan elite Papua untuk memperebutkan kekuasaan dan menguasai sumber daya ekonomi. Pemekaran DOB di tanah Papua tidak bisa dilihat sebagai suatu aspirasi masyarakat, namun sangat lekat dengan kepentingan politik. Dengan demikian, DOB akan melahirkan konflik kepentingan atara elite dengan elite setra elite dengan masyarakat Papua serta akan memicu konflik keruangan atara daerah.


Penulis : Demas Wamaer 

Postingan populer dari blog ini

Pengenalan Jenis Pohon

Konspirasi Pendidikan Di Papua .

Jeritan Rakyat Jelata