Politik Deliberatif
Jürgen Habermas & Demokrasi Deliberatif: Catatan Singkat 20 Tahun Reformasi.
Dalam pembukaan UU 1945 alinea ke-4 dan sila ke-4 Pancasila, dirumuskan bahwa “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dengan demikian berarti demokrasi Pancasila merupakan demokrasi deliberatif.
Dalam demokrasi deliberatif terdapat tiga prinsip utama.
- prinsip deliberasi, artinya sebelum mengambil keputusan perlu melakukan pertimbangan yang mendalam dengan semua pihak yang terkait.
- prinsip reasonableness, artinya dalam melakukan pertimbangan bersama hendaknya ada kesediaan untuk memahami pihak lain, dan argumentasi yang dilontarkan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
- prinsip kebebasan dan kesetaraan kedudukan, artinya semua pihak yang terkait memiliki peluang yang sama dan memiliki kebebasan dalam menyampaikan pikiran, pertimbangan, dan gagasannya secara terbuka serta kesediaan untuk mendengarkan.
Demokrasi yang deliberatif diperlukan untuk menyatukan berbagai kepentingan yang timbul dalam Masyarakat yang heterogen.Jadi setiap kebijakan publik hendaknya lahir dari musyawarah bukan dipaksakan. Deliberasi dilakukan untuk mencapai resolusi atas terjadinya konflik kepentingan. Maka diperlukan suatu proses yang fair demi memperoleh dukungan mayoritas atas sebuah kebijakan publik demi suatu ketertiban sosial dan stabilitas nasional.
Penjabaran secara sederhana itu dilakukan dengan: (1) Praktik-praktik yang sudah berjalan agar lebih diradikalkan (2) Institusi-institusi demokratis diperbanyak, kanal-kanal komunikasi di dalam sistem politik sumbatan-sumbatannya dihilangkan. (3) Institusi intermedia yang memperkuat masyarakat sipil diperbanyak, untuk membentengi kekuatan masyarakat sipil dan kalangan pers. “Itu semua sudah ada, kalau perlu ada amandemen konstitusi yang menjamin distribusi hak-hak komunikatif publik secara adil. Kita sudah punya semua itu, hanya perlu diradikalkan.
Hasil kajian The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2020, Indeks Demokrasi Indonesia 2019, dan Democracy Report 2021 menunjukkan bahwa kualitas demokrasi Indonesia mengalami masalah yang cukup memprihatikan.
Secara spesifik, indeks demokrasi yang dipublikasikan pada awal 2021 lalu oleh EIU menggambarkan tren penurunan.
Kualitas demokrasi Indonesia pada aspek kebebasan berekspresi dan berpendapat yang awalnya berada di angka 6,48 pada tahun 2019 merosot ke level 6,30 pada tahun 2020 (The Economist, 2021).
Dengan nilai tersebut, EIU menempatkan Indonesia pada posisi ke-64 dunia dari 167 negara yang masuk dalam kategori demokrasi cacat (flawed democracy).
Selanjutnya pada kajian Democracy Report 2021, kebebasan dalam demokrasi di Indonesia berada di urutan 73 dari 179 negara (V-Dem Institute, 2021).
Selain itu, kajian Indeks Demokrasi Indonesia menampakkan indeks kebebasan berpendapat di Indonesia mengalami kemerosotan dari 66,17 pada tahun 2018 menjadi 64,29 pada tahun 2019 (BPS, 2019).
#Penulis : DW#
(Sumber : Jürgen Habermas)
(Sumber : Peneliti Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya (PMB) LIPI , M. Nur Prabowo Setyabudi.)